Dr Soetomo dan kawan-kawan mungkin tidak pernah membayangkan bahwa hari saat mereka bersepakat berkerja sama mengorganisasi beberapa teman untuk membantu pelajara pribumi dengan bea siswa agar dapat, terus mengenyam pendididkan, akan diperingati sebagai tonggak awal kebangikitan perjuangan pergerakan Indonesia. Awal dari kesadaran untuk menerapkan barisan, demi memperjuangkan hak sebagai bangsa. Awal dari kebangkitan nasional Indonesia.
Terdengar heroik bukan? Namun, tentu bukan itu tujuan dokter-dokter muda kala itu. Bukan untuk tampil sebagai sosok pahlawan, sebagai bangsa ini menganggap merekademikian. Yang terjadi, hanyalah cetusan dari rasa kepedulian. Kepedulian sesama nasib pelajar pribumi yang kurang beruntung dan terancam putus sekolah Simpel tetapi dahsyat, yang kemudian mendorong beberapa pedang pribumi memberanikan diri memperjuangkan haknya dalam wadah yang terorganisasi, yakni Sarikat Islam. Juga mendorong anak-anak negeri masa itu untuk berani menyatakan sikap dan menunjukan kepedulian sebagai bangsa yang berhak hidup merdeka.
Ya, kunci yang digunakan anak bangsa untuk membangkitkan negeri itu seratus tahun lalu ternyata dari hal yang ringan, peduli. Sederhana bila diucapkan memang, tetapi sepertinya kunci yang mulai sulit dicari. Rasa peduli kini sering klai hanya hadir dihati, mampir sejenak dipikiran, untuk kemudian hilang ditelan kepentingan. Mungkin ini sebabnya mengapa semangat yang bergejolak dengan dahsyat di hati pemuda Indonesia seabad yang lalu mulai lenyap.
jangankan para pemuda, kakek-kakek yang pernah merasakan susahnya mewujudkan rasa yang peduli terhadap bangsa dan negara pun sekarang mulai gamang. bagaimana tidak, beratanya hidup seakan memaksa mereka hanya menanti sang malaikat maut. Kepedulian yang dahulu mereka perjuangkan, nampaknya tidak dibayar sepadan oleh bangsa ini. Dari anak turuan mereka sendiri.
Bukan, bukan materi, Bukan tunjangan atau pensiun yang naik nominalnya, tapi penghargaan yang tidak mereka dapatkan dari cucu-cucu mereka. Cucu-cucu yang sibuk nongkrong di mal-mal saat pulang sekolah. Cucu-cucu yang sibuk dengan model ponsel terbaru yang keluar di pasaran, cucu-cucu yang sibuk mempersiapkan diri menyongsong masa depan sendiri. Cucu-cucu yang sibuk mengikuti audisi, cucu-cucu yang melewati malam dengan tertawa tanpa henti. Cucu-cucu yang mulai tidak peduli bahwa banyak saudara hidup setengah mati.
"Rasa peduli itu masih ada", lantang seorang pemuda bersuara. "Hanya saja bersemayam dalam hati", tambahnya lirih, dan keberanian pemuda-pemuda hampir seabad yang lalu tampaknya sudah enggan berenkarnasi. "Tak apa, toh sekarang tak ada lagi penjajah untuk di basmi." Suara lain memberi apologi. Lalu, bagaimana dengan sesama muda yang hidup setengah mati? Yang juga anak negeri, bagaimana dengan pelajar yang kehabisan bekal, pada hal otak mereka pintar?
Kita memang bukan orang hebat macam Dr Soetomo, Dr Cipto, atau sedert nama besar lainnya yang mempunyai keberanian luar biasa terhadap untuk menunjukan bagaimana mereka peduli terhadap negeri. Namun kita masih punya satu kunci, peduli. Kitapun butuh keberanian untuk menunjukan bahwa kita peduli. Kebangkitan Nasional, bangkitkan kepedulian nasional. Tunjukan kita berani!(ArjunaEdan)
Dyah Hapsari
MIK UGM
Terdengar heroik bukan? Namun, tentu bukan itu tujuan dokter-dokter muda kala itu. Bukan untuk tampil sebagai sosok pahlawan, sebagai bangsa ini menganggap merekademikian. Yang terjadi, hanyalah cetusan dari rasa kepedulian. Kepedulian sesama nasib pelajar pribumi yang kurang beruntung dan terancam putus sekolah Simpel tetapi dahsyat, yang kemudian mendorong beberapa pedang pribumi memberanikan diri memperjuangkan haknya dalam wadah yang terorganisasi, yakni Sarikat Islam. Juga mendorong anak-anak negeri masa itu untuk berani menyatakan sikap dan menunjukan kepedulian sebagai bangsa yang berhak hidup merdeka.
Ya, kunci yang digunakan anak bangsa untuk membangkitkan negeri itu seratus tahun lalu ternyata dari hal yang ringan, peduli. Sederhana bila diucapkan memang, tetapi sepertinya kunci yang mulai sulit dicari. Rasa peduli kini sering klai hanya hadir dihati, mampir sejenak dipikiran, untuk kemudian hilang ditelan kepentingan. Mungkin ini sebabnya mengapa semangat yang bergejolak dengan dahsyat di hati pemuda Indonesia seabad yang lalu mulai lenyap.
jangankan para pemuda, kakek-kakek yang pernah merasakan susahnya mewujudkan rasa yang peduli terhadap bangsa dan negara pun sekarang mulai gamang. bagaimana tidak, beratanya hidup seakan memaksa mereka hanya menanti sang malaikat maut. Kepedulian yang dahulu mereka perjuangkan, nampaknya tidak dibayar sepadan oleh bangsa ini. Dari anak turuan mereka sendiri.
Bukan, bukan materi, Bukan tunjangan atau pensiun yang naik nominalnya, tapi penghargaan yang tidak mereka dapatkan dari cucu-cucu mereka. Cucu-cucu yang sibuk nongkrong di mal-mal saat pulang sekolah. Cucu-cucu yang sibuk dengan model ponsel terbaru yang keluar di pasaran, cucu-cucu yang sibuk mempersiapkan diri menyongsong masa depan sendiri. Cucu-cucu yang sibuk mengikuti audisi, cucu-cucu yang melewati malam dengan tertawa tanpa henti. Cucu-cucu yang mulai tidak peduli bahwa banyak saudara hidup setengah mati.
"Rasa peduli itu masih ada", lantang seorang pemuda bersuara. "Hanya saja bersemayam dalam hati", tambahnya lirih, dan keberanian pemuda-pemuda hampir seabad yang lalu tampaknya sudah enggan berenkarnasi. "Tak apa, toh sekarang tak ada lagi penjajah untuk di basmi." Suara lain memberi apologi. Lalu, bagaimana dengan sesama muda yang hidup setengah mati? Yang juga anak negeri, bagaimana dengan pelajar yang kehabisan bekal, pada hal otak mereka pintar?
Kita memang bukan orang hebat macam Dr Soetomo, Dr Cipto, atau sedert nama besar lainnya yang mempunyai keberanian luar biasa terhadap untuk menunjukan bagaimana mereka peduli terhadap negeri. Namun kita masih punya satu kunci, peduli. Kitapun butuh keberanian untuk menunjukan bahwa kita peduli. Kebangkitan Nasional, bangkitkan kepedulian nasional. Tunjukan kita berani!(ArjunaEdan)
Dyah Hapsari
MIK UGM
No comments:
Post a Comment