Mudahnya pembelian antibiotik, tanpa resep dokter, membuat orang tak segan meminumnya untuk atasi penyakit yang dideritanya. KEKHAWATIRAN terhadap timbulnya masalah resistensi antibiotik makin memuncak seiring penggunaan antibiotik yang makin umum di tengah masyarakat. Permisifnya masyarakat terhadap antibiotik telah menimbulkan dampak terhadap meluasnya resistensi terhadap kuman-kuman penyakit.
Bahkan, kondisi ini ikut diperparah dengan sikap para dokter yang cenderung mudah memberikan antibiotik kepada pasiennya. ”Contohnya saat pascaoperasi, sebagian besar dokter di sini (Indonesia) meresepkan antibiotik kepada pasien, dengan tujuan mencegah kemungkinan infeksi.Padahal di luar negeri, pasien pascaoperasi tidak diberikan antibiotik,” ujar Ketua Indonesia Antimicrobial Resistance Watch (IARW) Prof Dr Robert Utji SpMK di Jakarta, pekan lalu.
Dia menambahkan,masalah itu sebenarnya lebih kepada kebiasaan para dokter di sini yang terbiasa memberikan antibiotik. Padahal, dengan penanganan yang baik, kemungkinan infeksi bisa diminimalisasi. Dengan demikian,pemberian antibiotik tidak diperlukan. Kekhawatiran terhadap penyakit infeksi menjadi alasan tersendiri bagi para dokter untuk meresepkan antibiotik.
Memang tidak bisa disalahkan karena penyakit infeksi merupakan salah satu penyebab kematian utama di Indonesia. Hanya, pemberian antibiotik yang tidak tepat justru menimbulkan masalah baru, yakni resistensi terhadap si obat pembunuh kuman, virus, dan bakteri tersebut. Louis Rice dari Louis Stokes Cleveland Veterans Affair Medical Center mengatakan,resistensi antibiotik merupakan masalah besar,yang faktanya akan menjadi problem besar di kemudian hari.
”Hal ini disebabkan mikroba mempunyai banyak alat untuk beradaptasi dan menjadi resisten,” ungkap Rice, seperti dikutip AFP. Bahkan, yang mengkhawatirkan adalah kemunculan kuman yang resisten terhadap berbagai jenis antibiotik. Akibatnya, tidak ada yang bisa atau menghambat perkembangan penyakit infeksi tersebut. Salah satunya adalah jenis kuman extended spectrum beta lactamase (ESBL). ESBL pun rentan terjadi di Indonesia, mengingat penggunaan antibiotik di kalangan masyarakat cukup tinggi.
Menurut klinisi mikrobiologis dari FKUI dr Anis Karuniawati Phd SpMK, angka mengenai penggunaan antibiotik di kalangan masyarakat sebenarnya bisa dilihat dari hasil penjualan berbagai produk obat antibiotik. Data itu sebenarnya telah ada dan dikeluarkan oleh Perhimpunan Ahli Mikrobiologi Klinik Indonesia (PAMKI) setiap tahunnya. ”Jika melihat perkembangan itu, kemungkinan ESBL terjadi di Indonesia memang cukup besar,” tutur Anis.
Dia menambahkan, ahli mikrobiologi sebenarnya telah melaporkan kepada para klinis mengenai masalah resistensi antibiotik ini. Terutama, jenis-jenis antibiotik yang sudah tidak efektif untuk digunakan sebagai obat pembunuh infeksi. ”Sejumlah penelitian akhirakhir ini mengungkapkan masalah resistensi antibiotik meningkat, tidak hanya di Indonesia, juga menjadi masalah serius di berbagai negara di dunia,” ungkapnya.
Dampak buruk dari keadaan resisten antibiotik tidak hanya pada bidang kesehatan, melainkan juga sektor ekonomi, terutama produktivitas yang menurun, meningkatnya jumlah dana untuk pembelian antibiotik, dan masa perawatan di rumah sakit yang lebih panjang dengan konsekuensi meningkatnya biaya perawatan. ”Penyakit infeksi menjadi masalah utama di Indonesia. Penyakit infeksi bisa disebabkan bakteri, virus, dan parasit. Dengan demikian, pengobatan yang dilakukan bertujuan untuk membunuh bakteri, virus, dan parasit tersebut,” papar Anis.
Pengobatan yang dikenal untuk membasmi kuman di dalam tubuh manusia adalah obat antibiotik. Namun, antibiotik digunakan untuk infeksi karena bakteri. Sementara untuk jenis infeksi lain, seperti yang disebabkan oleh virus, penggunaan antibiotik merupakan sesuatu hal yang berlebihan.
Probiotik Tangkal Bakteri Jahat
BAKTERI tidak selalu negatif. Kini, fenomena yang berkembang di tengah masyarakat adalah kehadiran berbagai jenis minuman probiotik, suplemen dalam makanan yang mengandung bakteri yang sangat menguntungkan.
Ensiklopedia Wikipedia menyebutkan, probiotik sebagai suplemen diet yang mengandung bakteri berguna dengan asam laktat bakteri (lactic acid bacteria-LAB) sebagai mikroba yang paling umum dipakai. LAB telah dipakai dalam industri makanan selama bertahuntahun karena mampu untuk mengubah gula (laktosa) dan karbohidrat lain menjadi asam laktat.
Probiotik berasal dari bahasa Latin yang berarti ”untuk kehidupan” (for life) disebut juga ”bakteri bersahabat”, ”bakteri menguntungkan”,”bakteri baik”, atau ”bakteri sehat”. Apabila didefinisikan secara lengkap, probiotik adalah kultur tunggal atau campuran dari mikroorganisme hidup yang apabila diberikan ke manusia atau hewan akan berpengaruh baik. Sebab, probiotik akan menekan pertumbuhan bakteri patogen/bakteri jahat yang ada di usus manusia/hewan.
Dalam tubuh manusia sendiri terdapat kira-kira 400 jenis mikroba dengan jumlah sekitar 1.014 (100 000 000 000 000). Betapa banyak memang bakteri di tubuh manusia, bakteri-bakteri tersebut ada yang jahat dan ada yang baik. Beberapa probiotik terdapat secara alami, contohnya lactobacillus dalam yogurt. Menurut Food Science and Human Nutrition Specialist dari Colodaro State University Cooperative Extension Pat Kendall Phd, yogurt merupakan salah satu jenis makanan/minuman yang telah memiliki reputasi sebagai pangan sehat karena mengandung lactobacilus acidophilus, l casei, l reuteri, dan bifidobacterium bifidum.
”Semua merupakan bakteri probiotik melewati perut menuju gastrointestinal. Mereka dapat menjaga keseimbangan kesehatan di antara 200-an jenis bakteri yang hidup di situ,”ujar Kendall. Probiotik umumnya diketahui dapat meningkatkan sistem kekebalan tubuh. Hingga kini, belum ada publikasi yang menyatakan bahwa suplemen probiotik mampu menggantikan mikroflora alami di dalam tubuh.
Namun, banyak penelitian yang membuktikan bahwa probiotik akan membentuk koloni sementara, yang dapat membantu aktivitas tubuh dengan fungsi yang sama dengan mikroflora alami dalam saluran pencernaan.
”Ini kuman yang baik dan bisa membantu kekebalan tubuh dalam melawan kumankuman penyakit,”ungkap Guru Besar Departemen Mikrobiologi FKUI Prof dr Robert Utji SpMK. Menurut Utji,maraknya berbagai jenis makanan dan minuman yang mengandung probiotik inilah yang menjadi salah satu topik yang akan dibahas dalam Simposium Indonesia Antimicrobial Resistance Watch (IARW). (alfian)
No comments:
Post a Comment