Wednesday, June 6, 2007

Soekarno Sang ”Bung” Besar

Pada 6 Juni 2007, genap 106 tahun lahirnya Bung Karno. Panggilan ”Bung” diawali pada era perjuangan revolusi saat Jepang mencoba menanamkan kepada rakyat terjajahnya semangat kebesaran Nipon sebagai pemimpin Asia.

Selanjutnya dalam perjuangan mengusir kembali tentara NICA yang membonceng Sekutu mau menduduki kembali Indonesia yang sudah merdeka,rakyat mengenal ”bungbung besarnya” selaku panutan: Bung Karno, Bung Hatta, Bung Sjahrir, Bung Tomo. Tentunya masih jauh lebih banyak ”bung-bung kecil”. Setiap orang yang dikenal pejuang revolusioner,disapa dengan bung.

”Bung”,selain menandakan taraf akseptabilitas seorang figur, juga mengaruskan spirit egalitarian dalam elan kejuangan secara khas. Sapaan itu menebarkan kesetaraan dan kebebasan, tanpa memandang asal-usul, hierarki sosial, gelar-gelar,kepangkatan,dan jabatan. Orang menyapa dengan ”Bung” secara antusias dalam dampak pengakuan dan pembangkitan kesadaran berbangsa, berhubung dengan tumbuhnya perasaan senasib dan sepenanggungan; seriwayat kesejarahan.

Pada itu ”bung besar”memang sungguh berkewibawaan yang sanggup memancarkan pengaruh magnetik luar biasa bagi pengagum dan pengikutnya. Di sini Bung Karno paling unggul, bukan hanya dicatat sejarah sebagai pemimpin Indonesia, melainkan rentang pengaruhnya merambahi bangsa-bangsa tiga benua: Asia,Afrika, dan Amerika Latin.

Koleganya sesama pemimpin Asia-Afrika, semisal Jawaharlal Nehru (India), Mohammad Ali (Pakistan), Joseph Broz Tito (Yugoslavia); Gamal Abdul Nasser (Mesir); Kwame Nkrumah (Ghana), U Nu (Birma). Salah satu kebesaran Bung Karno adalah gagasan besarnya yang disumbangkan pada dunia.Sebagian penting dari gagasan-gagasan itu adalah sekaligus wahana penyikapannya terhadap konstelasi dunia di zamannya, yang terbelah pada bipolaritas ideologis dalam blok Barat dan blok Timur.Blok

Barat dikendalikan golongan kanan di bawah pengaruh liberalisme politik dan kapitalisme ekonomi; Blok Timur sebaliknya, adalah golongan kiri di bawah sosialisme, marxisme, dan komunisme. Bung Karno secara naluriah sangat tidak suka pada pengisapan manusia oleh manusia, pengisapan bangsa oleh bangsa lain.

Akan wajar bila Soekarno adalah protagon penentang kolonialisme, imperialisme, dan neokolonialismeimperialisme (Neokolim), yakni penjajahan bentuk baru melalui instrumen politik ekonomi dan kebudayaan dan ilmu pengetahuan—ia sering mengingatkan kaum profesor jangan textbook thinking! Kesadarannya atas Neokolim melahirkan gagasan ”Trisakti” sebagai salah satu ”Azimat Revolusi”: berdaulat di bidang politik, berdikari di bidang ekonomi; dan berkepribadian di bidang kebudayaan.

Maka di tengah bipolaritas ”ekstrem kanan dan ekstrem kiri”,Bung Karno menawarkan Pancasila pada dunia, sebagaimana pidato yang diucapkannya di depan Sidang Majelis Umum PBB pada 1960: ”In speaking to you of Pancasila, I am expressing the essence of two thousand years of our civilization.” Sejalan dengan sikap anti-Neokolim, wajarlah Bung Karno ngrengkuh lebih dekat isme yang sejalan menentang penjajahan yang memang diperjuangkannya sejak ia muda––ialah sosialisme ketimbang liberalisme. Marxisme sebagai metode berpikir menarik perhatian bukan hanya Bung Karno,melainkan juga Bung Hatta,bahkan juga HOS Tjokroaminoto.

Kedekatan Bung Karno terhadap kaum Marxis sudah muncul koridornya sejak ia menulis Nasionalisme,Islamisme, dan Marxisme, dalam usia 25 tahun. Antara lain ia menyatakan, ”Bukannya kita berharap, yang nasionalis itu supaya berubah paham menjadi islamis atau marxis; bukannya maksud kita menyuruh marxis dan islamis itu berbalik menjadi nasionalis, akan tetapi impian kita ialah kerukunan, persatuan antara tiga golongan itu. Bahwa sesungguhnya, asal mau saja, tidak kurang jalan ke arah persatuan.

Kemauan, percaya akan ketulusan satu sama lain, keinsafan akan pepatah ”rukun membikin sentosa” (itulah sebaikbaiknya jembatan ke arah persatuan), cukup kuatnya untuk melangkahi segala perbedaan dan keseganan antara segala pihak-pihak dan pergerakan kita ini. Kita ulang: tidak ada halangan nasionalis itu dalam geraknya,bekerja bersama- sama dengan islamis dan marxis.” Para kritikus Soekarno di masa depan; berpuluh-puluh tahun sesudah tulisan Bung Karno di harian Suluh Indonesia Muda pada 1926 itu, ada kalanya mengecam gagasan persatuan itu, khususnya di antara islamis dan marxis –secara sinis.

Padahal, mereka tampaknya telah membiarkan diri dalam kritik yang anakronistis, dan di lain pihak belum tentu memahami benar alasan Soekarno berikut ini. ”….. kaum islamis itu bisalah kita rapatkan dengan kaum marxis, walaupun pada hakikatnya dua pihak itu berbeda asas yang lebar sekali….. Kita yakin bahwa tiadalah halangan yang penting bagi persahabatan muslim- marxis itu. Di atas sudah kita terangkan bahwa islamisme yang sejati itu mengandung tabiat-tabiat yang sosialistis.Walaupun sosialistis itu belum tentu bermakna marxistis, walaupun kita mengetahui bahwa sosialisme Islam itu tidak bersamaan dengan asas marxisme.

Islam berasas spiritualisme dan sosialismenya marxisme itu berasas materialisme. Walaupun begitu, untuk keperluan cukuplah jikalau kita membuktikan bahwa Islam sejati itu sosialistis adanya”.”Kaum islamis tidak boleh lupa bahwa kapitalisme, musuh marxisme itu, adalah musuh islamisme pula! Sebab meerwaarde sepanjang paham marxisme, dalam hakikatnya tidak lain daripada riba sepanjang paham Islam” (Di Bawah Bendera Revolusi).

Bila petikan tulisan Bung Karno itu disimak secermat-cermatnya,akan sampailah kita pada apa yang dinyatakan murid politiknya Bung Karno, Roeslan Abdulgani, bahwa manakala mau memahami ucapan, sikap dan tindakan Bung Karno mesti kita pilahkan apakah ucapannya itu sebagai asas atau prinsip; taktik atau strategi. Agaknya jelas bahwa obsesi Bung Karno mempersatukan ketiga isme atau paham tadi proporsinya adalah taktik, lebih dari itu mungkin merupakan strategi perjuangan dan bukanlah prinsip atau asas.

Ihwalnya mirip sikap Bung Karno dalam gagasan Nasakom-nya yang kontroversial sekitar 1960-an, yang hendak mempersatukan partai-partai beraliran nasionalisme, islamisme, dan komunisme. Mana mungkin seorang muslim menyatu dengan komunis, demikian pandangan sementara kalangan. Sinisme itu kurang memahami apa yang dikehendaki Bung Karno, bukan penyatuan melainkan persatuan dan di sisi lain semua itu adalah taktik perjuangan sehubungan dengan kebutuhan persatuan nasional. Maka itu, Bung Karno sebagai ”bung terbesar” sampai Indonesia di awal milenium III,perlu disimak secara objektif dan adil, mana keunggulan dan kelemahannya.

Keadilan dalam penilaian seorang tokoh terpenting founding fathers niscaya menjadi edukasi kolektif sangat penting guna menghindarkan peradilan sepihak yang melulu mengecam pemimpin besarnya. Last but not least, kebesaran Bung ”besar” Karno tampak tatkala ia harus turun dari panggung politik negerinya. Cak Roeslan Abdulgani yang bersaksi, saat itu Bung Karno berujar: ” Cak! Saya mau saja tenggelam asal bangsa ini tidak pecah” (Editor,17 Maret 1990).Soekarno bukanlah pemimpin palsu, yang dalam keterpojokan posisinya masih banyak cing-cong (Jawa: kakehan pertingsing) dengan sekian macam ulah dan provokasinya.(*)

Slamet Sutrisno MSi,
Dosen Fakultas Filsafat UGM

No comments: