Wednesday, June 6, 2007

Interpelasi Iran...Apa Kata Dunia?

Rapat paripurna DPR dengan agenda interpelasi terhadap kebijakan pemerintah dalam mendukung Resolusi 1747 PBB terkait nuklir Iran akhirnya ditunda. Alasan utama penundaan tersebut adalah sebagian anggota DPR menolak kehadiran tujuh menteri yang menjadi wakil Presiden.

Sementara kelompok lainnya tak mempermasalahkan diwakilinya Presiden oleh pembantunya. Karena tidak tercapai kata sepakat, termasuk lewat lobi, pimpinan sidang akhirnya memutuskan mengembalikan masalah ini ke Bamus DPR. Rapat yang berlangsung selama dua jam akhirnya hanya mempertontonkan ketidakdewasaan anggota DPR dalam menafsirkan tata-tertib yang mereka buat sendiri.

Satu pihak meyakini bahwa Pasal 174 Tatib DPR tak mengharuskan Presiden untuk datang langsung. Sementara tafsir pihak lain juga tak kalah kuat. Kelompok ini haqul yakin bahwa pasal tersebut mengisyaratkan agar Presiden datang sendiri. Perbedaan tafsir seperti ini seharusnya tak perlu terjadi jika institutional building DPR berjalan baik. Dengan kata lain, DPR terlebih dahulu harus membereskan urusan internalnya sehingga persepsi seluruh anggota terhadap tatib dan aturan lainnya tak muncul saat akan membahas isu yang lebih substansial.

Sebenarnya, selama ini sudah ada preseden yang dapat digunakan sebagai ’’tafsir resmi’’ oleh DPR. Cukup melihat ke belakang saja, apakah interpelasi yang berlangsung sebelumnya mengharuskan Presiden untuk datang langsung atau tidak. Nyatanya tidak. Presiden SBY pada interpelasi busung lapar beberapa bulan lalu mengirimkan Menko Kesra Aburizal Bakrie dan diterima oleh DPR.

Begitu pun pada era pemerintahan Megawati, yaitu pada interpelasi kasus Ambalat, juga diwakili oleh Menkopolkam. Khusus mengenai isu Iran dapat disimpulkan bahwa Presiden serius menanggapi interpelasi DPR. Pasalnya, tak hanya Menlu yang datang, melainkan tujuh menteri plus Kepala BIN. Toh langkah ini tak juga meyakinkan sebagian anggota DPR. Lalu jika demikian, apakah ada agenda lain di balik isu interpelasi Iran? Tak ada yang tahu pasti. Tetapi, dalam politik tak ada hal yang tak mungkin.

Jalan Berliku Menuju Resolusi

Sejak awal, sebelum Resolusi 1747 keluar, Indonesia bersama Qatar dan Afrika Selatan di DK PBB menjadi trio non AS-Uni Eropa yang paling diperhitungkan suaranya. Tidak mengherankan bila hingga detik terakhir sebelum resolusi diteken, lima negara pemegang hak Veto,China,AS,Prancis,Inggris,dan Rusia, sibuk meyakinkan dan mencari jalan keluar yang dikehendaki bersama.

Melalui perundingan dan lobi berliku, Indonesia cs menginginkan satu resolusi baru yang mengaitkan aksi PBB terhadap Iran adalah dalam rangka pembentukan zona bebas nuklir di Timur Tengah.Frase ini ditujukan kepada Israel yang memiliki senjata nuklir, namun tak terikat pada Perjanjian Penyebaran Senjata Nuklir (NPT) sehingga tak pernah tersentuh pemeriksaan Badan Energi Atom Internasional (IAEA).

Dengan memasukkan frase ini,kedua negara berharap ada penyelesaian adil terhadap Iran yang selama ini merasa dizalimi Barat sementara Israel yang secara de facto menguasai senjata nuklir dibiarkan menguasai energi nuklir tanpa pengawasan internasional. Dalam bahasa terbuka, ketiga negara menginginkan IAEA memeriksa juga Israel.Tentu saja usulan Indonesia tersebut langsung mendapat reaksi keras dari AS, yang selama ini menjadi sekutu tradisional Israel.

Namun, satu celah berhasil ditemukan bersama,yaitu AS dan negara-negara Barat menyetujui frase antipenyebaran senjata nuklir di Timur Tengah. Resolusi 1747 sendiri bukan jalan masuk bagi aksi militer AS dan sekutunya seperti yang mereka lakukan di Irak. Rusia menggaransi bahwa resolusi Iran hanya bersifat persuasif dan terbatas pada politik dan ekonomi.Tujuannya adalah meyakinkan Iran untuk kembali bekerja sama dan meningkatkan hubungan dengan IAEA agar tak saling timbul curiga. Sebagai lembaga independen, laporan IAEA terkait nuklir Iran sangat penting bagi PBB guna merumuskan kebijakan lebih lanjut.

Arab Mendukung Resolusi

Ironisnya, simpati terhadap Iran justru tak muncul dari tetangganya. Hampir semua negara di jazirah Arab menyetujui Resolusi 1747 karena diharapkan dapat mengurangi ketegangan baru di Timur Tengah. Mengapa muncul kekhawatiran kolektif dari negara-negara Arab? Karena dalam sejarahnya,Iran kerap mencampuri urusan dalam negeri negaranegara di kawasan tersebut.

Ada ambisi dari Iran untuk menjadi polisi di Teluk. Sebaliknya, terhadap Israel yang dikecam Ahmadinejad, Iran tak pernah terlibat konfrontasi langsung. Jejak politik luar negeri Iran menunjukkan bahwa Teheran banyak terlibat dalam menyokong gerakan radikal di Timur Tengah bahkan Afrika.Misalnya, Iran disinyalir menempatkan angkatan lautnya di Sudan untuk membantu Omar Hassan Bashir dalam mengatasi konflik dalam negeri.Yasser Arafat pada 1994 secara terang-terangan menuding Iran di belakang faksi radikal Hamas dan Jihad Islam.

Hubungan Iran- Aljazair juga terus memburuk setelah Iran dituding mendanai aktivitas FIS, yang menentang pemerintah setempat. Selain di negara-negara tersebut, Iran juga terlibat di Bosnia, Afganistan, Aljazair, Bahrain, dan Arab Saudi. Namun, seringkali keterlibatan Iran di atas memperburuk citra negeri para Mullah yang berambisi meneruskan kejayaan dinasti Umayyah dan Abbasiyah.Perang Iran-Irak, 1980–1988 sedikit menunjukkan panasnya hubungan luar negeri Iran dan tetangga-tetangganya.


Pertanyaannya kemudian, jika negara-negara di Timur Tengah saja tak bereaksi berlebih, mengapa kita yang jauh di Indonesia lebih sibuk, bahkan hingga membawa ke level interpelasi? Fakta lain juga menunjukkan paradoksalitas isu nuklir Iran dengan sikap DPR.Dua setengah bulan pasca resolusi 1747, hambatan tembok diplomasi Iran dan Barat mulai terbuka. Enam negara adidaya diperkirakan mengubah sikapnya mengenai program pengayaan uranium yang dilakukan Iran,dengan memperbolehkan pengayaan tersebut,tetapi dibatasi.

Perubahan sikap itu untuk menerobos kebuntuan akibat sikap Barat maupun Iran yang sama-sama bertahan pada posisinya. Situasi yang kondusif ini, oleh Ali Larijani, Ketua Juru Runding Iran, dianggap sebagai inisiatif baru yang penting bagi Iran dan dunia. Penangkapan 15 marinir Inggris yang masuk secara ilegal di perairan Iran beberapa waktu lalu menjadi kartu as yang turut mengubah spektrum sikap Barat. AS juga akhirnya menggandeng Iran sebagai partner penting dalam Konferensi Irak beberapa waktu lalu.

Berbagai perubahan positif global terkait isu nuklir Iran ini seharusnya menjadi referensi utama bagi DPR dalam mengusung isu interpelasi. Dengan kata lain, jika Iran dan Barat sudah membuka pintu dialog akan masa depan nuklir Iran, mengapa DPR justru setback, dengan masih berkutat pada mempertanyakan kebijakan mendukung resolusi 1747? Apakah ini hanya untuk ’’menjaga citra’’ DPR atau ada kemungkinan politisasi isu nuklir Iran untuk kepentingan politik jelang 2009? Ah... apa kata dunia.........?!? Begitu kata Nagabonar.(*)

Zaenal A Budiyono,
Direktur Eksekutif Developing Countries Studies Center (DCSC), Jakarta

No comments: