Jujur sejatinya perbuatan terpuji. Namun,jujur dalam hal berkorupsi, tentu sulit kita pahami. Jagad atmosfer negeri ini kembali disesaki oleh wacana penuh ambigu.Tindak korupsi yang jelas terjadi, dialihkan pada perdebatan pengakuan dan penolakan atas tuduhan korupsi.
Anehnya, pengakuan bertindak koruptif dianggap sebagai blessing in disguest.Sebuah pengakuan atas perbuatan yang sungguh tercela secara sosial, dipuja bak seorang pahlawan. Fakta ini membuktikan adanya simulakra wacana yang menghegemoni sekaligus ”memanipulasi” kesadaran tanpa disadari. Pengakuan Amien Rais menerima dana nonbujeter Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) mencuat bukan karena pengakuannya.
Namun, karena provokasinya agar orang lain turut mengakui hal yang sama. Provokasi tersebut mengundang reaksi. Paling tidak, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono secara khusus merespons tuduhan yang dianggapnya fitnah yang keji. Pengakuan Amien Rais sesungguhnya bukan hal baru. Sebelumnya, beberapa orang sudah mengakuinya.Di antaranya Slamet Effendi Yusuf, Ketua Badan Kehormatan DPR, yang mengaku menerima dana tersebut untuk pembangunan masjid di sebuah pesantren.Namun, pengakuan ini tak segaduh pengakuan Amien Rais,karena tidak memprovokasi yang lain. Bahkan, pimpinan DPR sepakat ”mengambangkan” isu tersebut dan meminta aparat terkait menyikapinya sesuai prosedur hukum.
Pengakuan Amien dengan segala provokasinya merupakan sebuah represi kesadaran yang bisa memunculkan paradoksalitas. Pengakuan dan penolakan pada titik ini sama-sama absurdnya. Apalagi data yang dipakai masih harus dibuktikan secara valid.Bahkan,Amien Rais sendiri mengaku hanya menerima Rp200 juta, sementara data dari persidangan yang diekspos media massa, Amien menerima Rp600 juta dengan tiga kali pembayaran.
Dari sini, pengakuan Amien lebih bernuansa politis. Pengakuan tersebut meluncur lebih karena desakan media massa yang terus mengungkit dana yang diterima Amien secara langsung. Dan Amien Rais mengakui dengan embelembel ”tuduhan”pada pihak lain.Inilah yang mencederai pengakuan Amien atas penyimpangan dana yang diterimanya secara langsung.
Fokus DKP
Wacana aliran dana DKP ini akan terus memicu perdebatan apabila tidak ada fokus dan klarifikasi yang bisa dipertanggungjawabkan secara hukum. Akibatnya, substansi pengusutan dana DKP bisa melenceng ke mana-mana.Ini menunjukkan adanya upaya pengalihan arah dari substansi persoalan awal, yaitu mengungkap korupsi di DKP. Kalau pada akhirnya muncul nama-nama penerima dana DKP,hal ini masih perlu klarifikasi dan diproses secara hukum setelah persoalan DKP sendiri clear. Karena beberapa nama yang tercantum sebagai penerima dana DKP menolak ”tuduhan-tuduhan” yang dilansir pejabat DKP.
Oleh karena itu, persoalan korupsi dana DKP harus diusut tuntas terlebih dahulu menyangkut siapa yang paling bertanggung jawab atas penggunaan secara ilegal dana nonbujeter tersebut. Setelah pengusutan problem internal DKP ini selesai, pengusutan lanjutannya adalah para penerima dana tersebut. Semua proses ini harus berjalan sesuai koridor hukum. Dalam kasus dana nonbujeter DKP, terlihat jelas dana tersebut paling banyak mengalir ke kantong-kantong politik. Mulai atas nama partai sampai tim sukses Pilpres. Inilah salah satu pintu masuk yang menjerat mantan menteri DKP, Rokhmin Dauri, dalam penyimpangan dana DKP.
Namun,pembeberan fakta-fakta penerima dana, walaupun masih harus di-crosscheck, merupakan langkah jitu untuk membuat jera para aparat negara yang biasa mengeruk uang negara. Catatan seperti ini seharusnya bisa dibeberkan oleh para tersangka korupsi lainnya.Paling tidak, catatan ini menjadi pertanggungjawaban atas penyimpangan dana negara yang mengalir tak wajar.
Sudah menjadi rahasia umum, departemen menjadi sapi perahan berbagai kepentingan. Dan departemen merasa ”nyaman”,karena eksistensinya ditentukan oleh lancar tidaknya aliran dana ke kantong-kantong (kader) parpol. Itulah sebabnya rebutan kursi kabinet (departemen) selalu dikaitkan dengan upaya penyerapan keuntungan finansial sebanyak mungkin dari negara.
Hancurnya Keteladanan
Penyimpangan dana DKP dan tindak korupsi di sektor-sektor lainnya membuktikan pemberantasan korupsi di negeri ini masih jauh panggang dari api. Apalagi yang terlibat tenyata orangorang yang sejatinya menjadi pionir untuk tidak berbuat koruptif.Ini membuktikan bahwa antikorupsi belum menjadi napas dalam diri bangsa ini. Di sinilah pentingnya kesadaran untuk tidak berkorupsi. Kita patut prihatin atas kasus korupsi yang melibatkan para tokoh yang sejatinya menjadi teladan.
Teladan yang dibutuhkan bukan dalam bentuk kejujuran (pengakuan) berkorupsi yang justru bisa membodohi rakyat.Apa pun alasannya, korupsi tetaplah dosa sosial yang tak terampuni oleh pengakuan. Bahkan, oleh pengembalian dana yang telah dikorupsi. Ia merupakan cacat moral yang tak mungkin terhapus dari memori sejarah negeri ini.
Fakta korupsi di atas memperlihatkan bahwa elite di negeri ini hanya menyisakan ruang kesadaran untuk diri, keluarga, dan elite lainnya demi eksistensi dirinya,bukan untuk rakyat.Inilah koalisi bejat yang menikam hati nurani rakyat. Baik pemberi dan penerima sama- sama menjadi bagian dari penyubur tindak korupsi yang menyesakkan napas bangsa. Untuk itu, transformasi kesadaran di kalangan tokoh-tokoh yang sejatinya menjadi guru bangsa harus dikritisi ulang.
Penguatan Nilai
Silang sengkarut korupsi di negeri ini merupakan tantangan bagi pemberantasan korupsi. Pemberantasan korupsi tidak hanya persoalan struktural. Karena pada kenyataannya sistem kontrol yang selama ini sudah ada belum ampuh memupus tindak korupsi. Kontrol hukum dan lembaga-lembaga pemberantasan korupsi merupakan alat yang efektivitasnya ditentukan oleh nilai (budaya). Mekanisme kontrol eksternal, seperti perangkat hukum dan lembaga an-tikorupsi, sangat mudah dibentuk.
Namun, ia layaknya hardware (perangkat keras) yang fungsinya ditentukan oleh software (program) di dalamnya. Itulah sebabnya diperlukan nilai-nilai berupa komitmen dan kesadaran yang mewarnai lembaga dan seluruh tatanan yang ada sehingga sistem tidak bergerak ke arah yang anomalis. Hancurnya nilai-nilai antikorupsi, menyebabkan orang tak sensitif terhadap asal-usul dana yang masuk ke kantongnya.
Orientasi kekuasaan telah membutakan mata hati para elite untuk menanyakan siapa dan dalam rangka apa seseorang menyumbang dana.Tidak adanya kontrol internal (nurani) ini menyebabkan terjadinya anomali kejujuran. Orang tanpa malu jujur mengakui keterlibatan dirinya dalam korupsi. Pada titik tertentu,kejujuran adalah terpuji. Namun, jujur dalam perbuatan tercela (korupsi) tetap harus disesali. Dan yang kita butuhkan bukan penyesalan, tapi kehendak untuk tidak pernah berbuat korupsi. *Dosen Ilmu Politik Fakultas Ushuluddin & Filsafat UIN Jakarta
No comments:
Post a Comment