Tuesday, May 29, 2007

Cirebon, Masa Lalu dan Kini


Oleh Dr. H. DADAN WILDAN, M.Hum.

MASYARAKAT Cirebon khususnya dan masyarakat Jawa Barat pada umumnya, akhir-akhir ini disuguhi kabar yang menggembirakan dan juga kabar memprihatinkan. Kabar menggembirakan datang pada pemilu legislatif 2004, ketika Pangeran Raja Adipati (PRA) Arief Natadiningrat, S.E., putra mahkota Keraton Kasepuhan Cirebon terpilih sebagai anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) mewakili Jawa Barat. Tentunya, bagi masyarakat Cirebon, Indramayu, Majalengka, dan Kuningan (Ciayumajakuning) merupakan kebanggaan tersendiri. Harapan ditumpahkan pada Pangeran Arief untuk mengangkat citra Cirebon sebagai kota wali dan pelestari kesultanan Islam di tanah Sunda.

Sebaliknya, kabar memprihatinkan datang pada Minggu lalu (6 Juni 2004) di mana konflik internal antarkeluarga di lingkungan Keraton Kanoman, Cirebon yang telah berlangsung cukup lama, kini memuncak. Sultan Raja Muhammad Emirudin akhirnya mengambil tindakan tegas, mengusir keluarga Sultan Saladin dari keraton tersebut. Menurut berita Pikiran Rakyat (7/6/2004) titah Sultan Emirudin dibacakan langsung pada rapat besar di Pendopo Keraton Kanoman, pada hari Minggu (6/6).

Rapat yang dihadiri 200 kerabat keraton, abdi dalem, magersari, bekel, kemit, dan jeneng berlangsung tegang. Tindakan ini merupakan bentuk reaksi keras yang dipicu keluarga Saladin -- yang juga mengaku Sultan Kanoman XII -- terkait masuknya kerabat Keraton Kanoman ke dalam tim sukses capres-cawapres Susilo Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla serta pengajuan proposal Festival Keraton Nusantara (FKN). Lalu bagaimana harapan, keinginan, dan masa depan Cirebon?

Sejarah Cirebon

Jika kita membuka catatan sejarah, pada abad ke-15 dan 16 Masehi Cirebon merupakan pangkalan penting dalam jalur perdagangan dan pelayaran antarpulau. Lokasinya di pantai utara Jawa perbatasan antara Jawa Tengah dan Jawa Barat, membuatnya berperan sebagai pelabuhan dan "jembatan" antara kebudayaan Jawa dan Sunda sehingga tercipta suatu kebudayaan yang khas, Cirebon, bukan Jawa dan bukan pula Sunda.

Menurut Sulendraningrat yang mendasarkan pada naskah Babad Tanah Sunda dan Atja pada naskah Carita Purwaka Caruban Nagari, pendiri kota Cirebon adalah Raden Walangsungsang -- putra Prabu Siliwangi dari Nyi Mas Subanglarang atau Subangkranjang, seorang puteri Ki Gedeng Tapa saudagar kaya di Pelabuhan Muarajati Cirebon -- yang membuka hutan ilalang dan membangun sebuah gubug dan sebuah tajug (Jalagrahan) dimulai pada tanggal 1 Syura 1358 (tahun Jawa) bertepatan dengan tahun 1445 Masehi. Dukuh yang dibangun itu lama kelamaan berkembang menjadi sebuah desa yang ramai dan diberi nama Caruban (campuran), karena di sana bercampur para pendatang untuk bertempat tinggal atau berdagang, mereka terdiri dari berbagai macam suku bangsa, agama, bahasa, dan adat istiadat, serta mata pencaharian yang berbeda.

Ki Gedeng Alang-alang diangkat oleh masyarakat baru itu menjadi Kuwu Caruban yang pertama, dan Walangsungsang diangkat sebagai Pangraksabumi. Mata pencaharian mereka pada mulanya adalah sebagai nelayan. Ki Gedeng Alang-alang, setiap malam bekerja menangkap ikan dan rebon (udang kecil) di sepanjang pantai dan pada siang harinya membuat terasi, petis, dan garam. Dari air belendrang bekas pembuatan terasi dari rebon, desa ini dikenal pula dengan sebutan Cirebon (cai-rebon).

Setelah Ki Gedeng Alang-alang wafat, Walangsungsang yang bergelar Ki Cakrabumi diangkat menjadi penggantinya sebagai kuwu yang kedua dengan gelar Pangeran Cakrabuana. Bahkan ketika kakeknya, Ki Gedeng Tapa yang juga bergelar Ki Gedeng Jumajan Jati penguasa pesisir utara Jawa meninggal, Pangeran Cakrabuana tidak meneruskan kedudukan kakeknya, melainkan lalu mendirikan istana Pakungwati dan membentuk pemerintahan di Cirebon.

Usai menunaikan ibadah haji, Pangeran Cakrabuana yang kemudian disebut Haji Abdullah Iman tampil sebagai "raja" Cirebon pertama yang memerintah dari keraton Pakungwati dan aktif menyebarkan agama Islam kepada penduduk Cirebon. Pada tahun 1479 M, kedudukannya kemudian digantikan putra adiknya, Nyai Rarasantang dari hasil perkawinannya dengan Syarif Abdullah dari Mesir, yakni Syarif Hidayatullah (1448-1568) yang setelah wafat dikenal dengan sebutan Sunan Gunung Jati dengan gelar Tumenggung Syarif Hidayatullah bin Maulana Sultan Muhammad Syarif Abdullah dan bergelar pula sebagai Ingkang Sinuhun Kangjeng Susuhunan Jati Purba Panetep Panatagama Awlya Allah Kutubid Jaman Khalifatur Rasulullah. Sunan Gunung Jati kemudian diyakini sebagai pendiri dinasti raja-raja Cirebon dan Banten serta penyebar agama Islam di Jawa Barat seperti Majalengka, Kuningan, Kawali (Galuh), Sunda Kelapa, dan Banten.

Dengan dukungan pelabuhan yang ramai dan sumber daya alam dari pedalaman, Cirebon kemudian menjadi sebuah kota besar dan menjadi salah satu pelabuhan penting di pesisir utara Jawa baik dalam kegiatan pelayaran dan perdagangan di kepulauan Nusantara maupun dengan bagian dunia lainnya. Selain itu, Cirebon tumbuh menjadi cikal bakal pusat penyebaran agama Islam di Jawa Barat. Dengan empat keraton, yakni Keraton Kasepuhan sebagai istana Sultan Sepuh yang dianggap paling penting karena merupakan keraton tertua yang didirikan pada tahun 1529, Keraton Kanoman sebagai istana Sultan Anom berdiri tahun 1622, Keraton Kacirebonan, dan Keraton Kaprabon. Cirebon tumbuh sebagai pusat pemerintahan (keraton) dan pusat pendidikan (pengembangan ajaran Islam) di Jawa Barat.

Terpecahnya Kesultanan Cirebon

Sejarah Kesultanan di Cirebon diawali dari pertumbuhan dan perkembangan kesultanan yang dibangun oleh Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati (1478-1598). Setelah Sunan Gunung Jati wafat, terjadilah kekosongan jabatan pimpinan tertinggi kerajaan Islam Cirebon. Pada mulanya calon kuat pengganti Sunan Gunung Jati ialah Pangeran Dipati Carbon, putra Pangeran Pasarean, cucu Sunan Gunung Jati. Namun, Pangeran Dipati Carbon meninggal lebih dahulu pada tahun 1565. Kekosongan pemegang kekuasaan itu kemudian diisi dengan mengukuhkan pejabat keraton yang selama Sunan Gunung Jati melaksanakan tugas dakwah, pemerintahan dijabat oleh Fatahillah. Fatahillah kemudian naik takhta, dan memerintah Cirebon secara resmi menjadi raja sejak tahun 1568. Fatahillah menduduki takhta kerajaan Cirebon hanya berlangsung dua tahun karena ia meninggal dunia pada tahun 1570, dua tahun setelah Sunan Gunung Jati wafat dan dimakamkan berdampingan dengan makam Sunan Gunung Jati di Gedung Jinem Astana Gunung Sembung.

Sepeninggal Fatahillah, oleh karena tidak ada calon lain yang layak menjadi raja, takhta kerajaan jatuh kepada cucu Sunan Gunung Jati yaitu Pangeran Emas putra tertua Pangeran Dipati Carbon atau cicit Sunan Gunung Jati. Pangeran Emas kemudian bergelar Panembahan Ratu I dan memerintah Cirebon selama kurang lebih 79 tahun (1570-1649).

Setelah Panembahan Ratu I meninggal dunia pada tahun 1649, pemerintahan Kesultanan Cirebon dilanjutkan oleh cucunya yang bernama Pangeran Rasmi atau Pangeran Karim, karena ayah Pangeran Rasmi yaitu Pangeran Seda ing Gayam atau Panembahan Adiningkusumah meninggal lebih dahulu. Pangeran Rasmi kemudian menggunakan nama gelar ayahnya almarhum yakni Panembahan Adiningkusuma yang kemudian dikenal pula dengan sebutan Panembahan Ratu II (1649-1662/1667).

Gelar kepala negara Cirebon, sejak putra Panembahan Girilaya naik takhta pada tahun 1677, berubah dari gelar Panembahan menjadi Sultan sebagaimana digunakan oleh Sultan Keraton Kasepuhan, Pangeran Martawijaya, dengan gelar Sultan Sepuh Abil Makarimi Muhammad Samsudin (1677-1703) dan Sultan Kanoman, Pangeran Kartawijaya, dengan gelar Sultan Anom Abil Makarimi Muhammad Badrudin (1677-1723). Gelar Sultan ini diberikan oleh Sultan Ageng Tirtayasa, karena keduanya pun dilantik menjadi Sultan Cirebon di ibu kota Banten. Sebagai sultan, mereka mempunyai kekuasaan penuh; mempunyai wilayah kekuasaan, rakyat, dan keraton masing-masing. Adapun Pangeran Wangsakerta tidak diangkat menjadi sultan, melainkan hanya sebagai Panembahan Cirebon dengan gelar Pangeran Abdul Kamil Muhammad Nasarudin atau Panembahan Tohpati (1677-1713). Ia tidak memiliki wilayah kekuasaan dan keraton sendiri, namun berdiri sebagai kaprabonan (paguron) tempat belajar para intelektual keraton.

Pembagian Kesultanan Cirebon kepada tiga orang, yaitu Sultan Sepuh, Sultan Anom, dan Panembahan Cirebon sejak tahun 1677 merupakan babak baru terpecahnya keraton Cirebon kepada tiga orang putra Pangeran Girilaya yang masing-masing berkuasa dan menurunkan para sultan berikutnya.

Dalam tradisi kesultanan di Cirebon, suksesi kekuasaan sejak tahun 1677 berlangsung sesuai dengan tradisi keraton, di mana seorang sultan akan menurunkan takhtanya kepada anak laki-laki tertua dari permaisurinya. Jika tidak ada, akan dicari cucu atau cicitnya. Jika terpaksa, maka orang lain yang dapat memangku jabatan itu sebagai caretaker.

Suksesi para sultan pada umumnya berjalan lancar, meskipun pada masa pemerintahan Sultan Anom IV (1798-1803) pernah terjadi perpecahan karena salah seorang putranya, Pangeran Raja Kanoman, ingin memisahkan diri membangun kesultanan sendiri dengan nama Kesultanan Kacirebonan. Kehendak Pangeran Raja Kanoman didukung oleh pemerintah Kolonial Belanda dengan keluarnya besluit (surat keputusan) Gubernur Jenderal Belanda yang mengangkat Pangeran Raja Kanoman menjadi Sultan Carbon Kacirebonan tahun 1807 dengan pembatasan bahwa putra dan para penggantinya tidak berhak atas gelar sultan, cukup dengan gelar pangeran. Sementara takhta Sultan Kanoman V jatuh pada putra Sultan Anom IV yang lain bernama Sultan Anom Abusoleh Imamuddin (1803-1811). Sejak itu di Kesultanan Cirebon bertambah satu penguasa lagi, yaitu Kesultanan Kacirebonan, pecahan dari Kesultanan Kanoman.

Masa depan Kesultanan

Cirebon dengan empat kesultanan, yakni Kasepuhan, Kanoman, Kacirebonan, dan Kaparabonan, sesungguhnya merupakan aset budaya yang tak ternilai. Sayangnya, konflik internal yang terjadi di Kanoman membuat keberlangsungan budaya dan kesultanan Islam menjadi terganggu. Simbol-simbol adiluhung di keraton telah dicemari oleh kepentingan kekuasaan, wibawa, dan kepentingan keluarga.

Sebut saja, ketika di keraton Kanoman terjadi pelantikan dua sultan pada Rabu malam tanggal 5 Maret dan Kamis siang tanggal 6 Maret 2003. Hal itu menimbulkan perpecahan di kalangan kerabat keraton. Pelantikan kedua sultan ini dihasilkan dari ketaatan atas adat dan wasiat. Takhta Sultan Kanoman XII yang diturunkan kepada Elang Muhammad Saladin pada Rabu malam itu didasarkan pada surat wasiat yang ditinggalkan oleh almarhum Sultan Kanoman XI, Pangeran Raja Haji Muhammad Djalaludin yang menunjuk Saladin sebagai penggantinya. Sementara takhta yang diturunkan kepada Pangeran Raja Muhammad Emirudin pada hari kamis, kurang dari 24 jam sejak penobatan Saladin, didasarkan pada adat (tradisi) yang berlaku di kesultanan Kanoman yang biasanya putra pertama sultan dari garwa ratu atau permaisuri memiliki hak otomatis sebagai putra mahkota. Jadi, pada hari Kamis 6 Maret 2003 Keraton Kanoman mempunyai dua sultan; satu takhta dua raja. Sampai kini konflik di antara keduanya belum berakhir bahkan terjadi tindak "kekerasan" dari titah Sultan Emirudin kepada Sultan Saladin dan keluarganya untuk meninggalkan Keraton Kanoman. Siapapun belum ada yang berhasil melerainya.

Sesungguhnya para pewaris takhta kerajaan atau para sultan sekarang sadar bahwa keraton dan takhta kesultanan bukan lagi tempat mencari harta dan melanggengkan kuasa. Mereka justru dipusingkan untuk mengelola harta pusaka keraton, dan berjuang memperoleh kembali hak mereka tanpa bantuan siapa-siapa. Nama besar keraton dan kesultanan di masa silam memang megah dan berwibawa, tapi kini bila memasuki Keraton Kanoman yang sedang ramai dengan suksesi itu, di depan gerbang keraton cuma tersisa sekerat tanah alun-alun yang semrawut dan kotor, yang seolah-olah menjadi halaman pasar sore, jalan selebar delapan meter menuju keraton menyempit karena dikuasai pedagang kaki lima yang berebut lahan dengan abang-abang becak. Dan di belakang gerbang ada istana yang kini hanya tampak seperti sekumpulan bangunan tua dengan rumput liar di sekelilingnya; simbol kekuasaan keraton seakan tinggal puing; masa depan keraton mulai redup.

Dalam perebutan takhta kesultanan itu saya mengamatinya sebagai bentuk persaingan wibawa tradisional karena sultan mempunyai kedudukan, kekuasaan, dan pemegang mandat berbagai upacara tradisional. Sehingga persaingan itu saya rasa sulit untuk diselesaikan bahkan oleh pengadilan sekalipun. Tetapi akan lebih cepat selesai jika ditempuh dengan jalan ishlah; masing-masing mengakui alur kekerabatan dan kepentingan pelestarian wibawa itu dengan menyerahkan mandat karismatik dan wibawa tradisionalnya kepada salah satu di antara keduanya. Meski itu pun adalah pilihan yang juga mempertaruhkan wibawa keluarga masing-masing. Sebab, bagaimana pun wibawa tradisional itu telah terbangun oleh unsur-unsur magis religius yang biasanya muncul pada upacara-upacara sakral dan diikuti oleh ketaatan rakyat kepada sultannya. Dan legitimasi atas sultan yang diakui sebagai pemimpinnya itu baru dapat dilihat dari ketaatan rakyat kepada sultannya.

Terlepas dari itu semua, Cirebon memiliki rentang sejarah cukup panjang dari sebuah dusun hingga menjadi kerajaan dan kini menjelma sebagai kota besar di pesisir pantai utara Jawa Barat. Pemerintah Daerah Provinsi Jawa Barat perlu meningkatkan perhatian yang serius kepada lima daerah "Ciayumajakuning" itu. Setidak-tidaknya, sejarah masa silam Cirebon yang gemilang perlu direkonstruksi kembali dengan cara:

Pertama, mengembalikan pelabuhan Cirebon sebagai pelabuhan internasional yang ramai tempat berlabuh kapal-kapal besar dari seluruh dunia, dan berdayakan pelabuhan udara Penggung sebagai pelabuhan udara lokal untuk mempercepat pertumbuhan ekonomi, pariwisata, dan jasa. Melalui otonomi daerah, sesungguhnya Cirebon memiliki aset budaya dan sumber daya manusia, alam, dan industri yang cukup besar yang bisa diberdayarkan untuk kemajuan Cirebon dan sekitarnya.

Kedua, menempatkan keraton Cirebon sebagai pusat budaya dan tradisi masyarakat Cirebon dengan perhatian sepenuhnya terhadap sultan sebagai pemimpin spiritual, budaya, dan tradisi, apalagi kalau ditempatkan seperti kesultanan Yogyakarta; di mana seorang sultan juga merangkap sebagai kepala pemerintahan di daerah, paling tidak memberikan tempat khusus kepada sultan sebagai pemegang kuasa dan wibawa tradisional.

Ketiga, mengakui secara utuh keberadaan Cirebon dan wilayah sekitarnya sebagai bagian dari Jawa Barat dan etnis Sunda yang unik, khas, dan mempunyai karakter tersendiri dengan cara mengembangkan dan memberi perhatian terhadap sosial budaya dan tradisinya yang khas.

Keempat, berdayakan masyarakat pesisir utara (Cirebon dan Indramayu) dan masyarakat "pedalaman" Majalengka dan Kuningan dengan pemberian perhatian penuh dalam berbagai sektor yang diperlukan di antara letak geografis yang berbeda, dan tidak menganggap sebelah mata kepada masyarakat di sana sebagai masyarakat kelas dua. Dorongan untuk membentuk provinsi Cirebon beberapa tahun yang lalu yang kini redup, dipicu oleh ketidakberpihakan pemerintah daerah Provinsi Jawa Barat terhadap wilayah ini. Karena itu, prioritas pembangunan provinsi Jawa Barat di bawah kepemimpinan Gubernur Danny Setiawan untuk lima tahun mendatang diarahkan pada peningkatan sektor ekonomi, sosial, budaya, pendidikan, dan kesejahteraan rakyat di kelima daerah itu.

Kelima, agar tidak menimbulkan konflik internal di kalangan keraton perlu dilegalkan kedudukan kesultanan Cirebon sebagai aset budaya masa silam melalui peraturan daerah (perda) sehingga campur tangan pemerintah daerah dalam membina, mengembangkan, melestarikan, dan menjaga kehormatan kerabat keraton dilindungi oleh aturan yang berlaku. Apabila perda itu terwujud, keikutsertaan pemerintah daerah sebagai penengah dalam konflik internal di Keraton Kanoman, misalnya, bisa terlegalkan dan persoalan itu bisa dengan cepat selesai. Syukur-syukur kalau keempat kesultanan itu diberikan hak sebagai pemegang otoritas tradisi atau sebagai daerah istimewa seperti Yogyakarta.

Keenam, optimalisasi peran Dewan Perwakilan Daerah asal Jawa Barat melalui Pangeran Arief Natadiningrat yang mememahami desah nafas warga dan denyut budaya Cirebon, sehingga dapat merefleksikan harapan dan keinginan masyarakat Cirebon di masa yang akan datang melalui jalur legislatif. Wallahu a'lam.***

Penulis staf pengajar Universitas Galuh Ciamis, dan peminat sejarah Cirebon.

No comments: