Sunday, May 27, 2007

MASA SIH? Stop Jual Gas











“PEMERINTAH berkomitmen tidak akan mengobral sumber daya energi yang dimiliki”. Pernyataan itu dilontarkan Wakil Presiden (Wapres) Jusuf Kalla, dalam lawatannya ke Negeri Sakura, Jepang, pekan ini.

Apa yang diucapkan Kalla itu bermakna dua sisi. Pertama, mengingatkan bangsa sendiri bahwa saatnya menghemat dan memaksimalkan sumber daya alam yang ada. Kedua, Kalla menunjukkan bahwa Indonesia masih punya nilai tawar terhadap Jepang sekali pun tingkat ketergantungan Indonesia terhadap Negeri Matahari Terbit itu begitu tinggi. Sektor energi adalah “kartu” tawar dalam melakukan hubungan dengan negara lain, terutama yang membutuhkan energi itu. Secara terbuka, Kalla telah menabuh gong tawar.

Tentu saja kita berharap gaung tabuhan gong tawar itu jangan hanya terdengar sesaat. Apa yang digaungkan Kalla itu tidak akan membawa dampak apa pun sepanjang belum ada harmonisasi dalam langkah pihak-pihak yang berkepentingan terhadap sumber energi itu. Memang sungguh ironis, Indonesia selalu didengungkan sebagai salah satu negara produsen energi gas terbesar di dunia, tetapi industri-industri pengguna gas di dalam negeri terpaksa harus mati lemas karena kekurangan suplai gas.

Masak sih? Tengok saja industri pupuk nasional yang dulunya sangat perkasa kini merana tak bisa berproduksi lagi. Pasalnya, gas yang menjadi kebutuhan utama sudah tak tersedia lagi. Bisa dibayangkan bencana apa yang akan terjadi selanjutnya bila industri pupuk harus punah dari muka bumi Indonesia. Para petani terpaksa harus menggantung pacul. Tapi ada juga untungnya, berkah bagi spekulan importir beras.

Dalam sebuah kesempatan diskusi dengan salah seorang wakil rakyat terhormat yang berkunjung ke SINDO beberapa waktu lalu, menilai persoalan industri pupuk yang sedang sekarat karena kekurangan pasokan gas, suatu hal yang tak perlu dirisaukan. Dengan enteng dia melontarkan, “Solusinya kita sudah temukan, jadi tak perlu panik,” ujarnya. Solusi apakah gerangan? Dia menjelaskan, delegasi Indonesia sudah bertemu dengan delegasi Iran. Keduanya sepakat mendirikan pabrik pupuk di Iran.

“Saya kira akan lebih ekonomis karena gas Iran selain tersedia melimpah, harganya masih jauh lebih rendah dibanding harga gas domestik kita,” jelasnya. Sepintas penjelasan itu cukup rasional. Tetapi pertanyaan mendasar yang tidak terjawab, mengapa ketersediaan gas di dalam negeri menghilang? Dan, mengapa industri di dalam negeri yang harus menanggung akibatnya? Ini salah siapa? Dalam kebingungan, sedikit tersibak oleh sebuah jawaban bahwa gas produksi di dalam negeri semuanya terbang ke luar negeri, selain harganya jauh lebih kompetitif di pasar internasional, sudah dijual putus ke negara-negara konsumen utama gas selama 20–30 tahun ke depan.

Masalahnya bagaimana caranya menghentikan semua itu. Masak sih, industri di dalam negeri yang menggunakan bahan bakar minyak dipaksa harus bersaing dengan industri negara lain yang menggunakan bahan bakar gas dengan harga lebih murah. Syahrir Rasyid*

No comments: