Lebih jauh lagi ditegaskan, daerah-daerah yang telah ”menyembunyikan” perda tersebut akan diberi sanksi berupa penangguhan dana alokasi umum (DAU). Sudah dapat dipastikan perda-perda yang disembunyikan tersebut menjadi faktor penting terjadinya high cost ability di daerah yang ujung-ujungnya pajak dan retribusi akan berbanding terbalik dengan pelayanan yang diberikan.
Pajak dan retribusi semakin melangit, sedangkan pelayanan makin dilupakan. Perda tentang pajak asal komoditas misalnya.Beberapa daerah dulunya memiliki perda seperti ini.Walaupun mayoritas sudah dibatalkan Depdagri, tidak tertutup kemungkinan perda seperti itu masih ada dan berlaku karena tidak pernah dilaporkan ke pemerintah (pusat). Pascapemberlakuan Undang-undang Nomor 32/2004, ”memeras” rakyat melalui perda adalah cara yang paling gampang dan cepat untuk meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD).
Ini dibuktikan dengan kenyataan yang ada bahwa perda yang dihasilkan dalam tiga tahun terakhir kebanyakan adalah perda menyangkut pajak dan retribusi. Selain langkah ini sebagai bentuk kemunduran dari pencanangan otonomi luas, perda-perda yang mengatur masalah pajak dan retribusi adalah bentuk tidak ”cerdasnya” pemerintahan daerah bersangkutan dalam melakukan inovasi (terobosan) sebagai upaya meningkatkan PAD,tanpa ”memeras”rakyat melalui perda. Lalu, siapakah yang mesti bertanggung jawab atas perda-perda yang disembunyikan tersebut?
Apakah gubernur, bupati, dan wali kota daerah bersangkutan, ataukah DPRD? Bagi daerah yang tidak melaporkan perda yang menyangkut tentang pajak dan retribusi,alasannya amat sederhana. Yakni untuk menghindari dibatalkannya oleh pemerintah (pusat). Bila asumsi ini yang terjadi, tentunya ketika perda tersebut disusun, daerah tersebut sudah memperkirakan bahwa substansi dari rancangan perda yang sedang disusun dapat dibatalkan sehingga langkah untuk tidak melaporkan perda tersebut dianggap langkah yang paling ”aman”.
Langkah menyembunyikan perda semakin menjadi pilihan di saat tidak adanya aturan tegas yang mengatur sanksi ataupun implikasi langsung jika perda tentang retribusi dan pajak tidak dilaporkan. P i l i h a n untuk ”menyembunyikan” perda dapat dengan mudah dilakukan bila proses pembentukannya dilakukan tidak secara transparan dan mengesam-pingkan prinsip-prinsip pembentukan peraturan perundang-undangan. Pascapengesahan oleh kepala daerah dan dimuat dalam lembaran daerah, proses publikasinya pun cenderung dilupakan.
Sehingga publik dan pemerintah pusat (c.q. gubernur) terkelabui. Kondisi ini diperparah lagi dengan tidak adanya mekanisme pengawasan yang ketat dari gubernur terhadap perda kabupaten/kota. Apalagi bagi daerah kabupaten/kota yang memiliki hubungan ”buruk” dengan gubernur daerah tersebut. Realitas ini menjadi faktor pendorong bagi daerah untuk tidak melaporkan perdaperda yang dihasilkan.
Selama ini, langkah pengawasan yang dilakukan gubernur hanya sebatas verifikasi sah atau tidaknya sebuah perda yang sudah disetujui bersama antara DPRD dan bupati/wali kota. Gubernur nyaris tidak memiliki database yang akurat dan up to date, menyangkut raperda yang sedang dibahas atau akan disusun di daerah. Misalnya, berapa raperda yang sedang dibahas di bagian hukum kota X dan yang akan diajukan ke DPRD atau berapa jumlah raperda yang sedang dibahas di DPRD X, data-data tersebut tidak akan bisa kita temukan di pemda provinsi kota yang bersangkutan.
Data-data tersebut amat penting bagi pemprov sebagai alat kontrol atas legislasi di daerah kabupaten/kota. Pola ”jemput bola” (tidak sebatas verifikasi) menjadi strategi yang mesti ditempuh sebelum kebijakan untuk ”menyembunyikan” perda menjadi kebiasaan. Artinya, mekanisme kontrol yang dilakukan pemprov selama ini harus diubah total. Jadi, amat penting ke depan dibangun pola baru dalam bentuk pengawasan yang lebih ketat dari gubernur terhadap proses legislasi di daerah (kabupaten/ kota).
Setiap daerah yang akan membahas raperda,khususnya yang menyangkut masalah pajak dan retribusi harus memberitahukan dulu kepada gubernur. Tujuannya, bukan untuk melakukan intervensi terlalu mendalam, tetapi melakukan pengawasan guna mengoptimalkan proses legislasi yang sedang terjadi agar perda-perda yang dihasilkan tidak lagi ”disembunyikan”oleh pemerintahan daerah yang bersangkutan. Di samping itu, bila dibaca Undang- Undang No 10/2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, penyusunan perda mesti memperhatikan asas keterbukaan.
UU 10/2004 menjelaskan bahwa asas keterbukaan adalah bahwa dalam proses Pembentukan Peraturan Perundang-undangan mulai perencanaan, persiapan, penyusunan, dan pembahasan yang bersifat transparan dan terbuka. Dengan demikian, seluruh lapisan masyarakat mempunyai kesempatan yang seluas-luasnya untuk memberikan masukan dalam proses pembuatan peraturan perundang-undangan. Artinya,gubernur dengan kewenangan yang dimilikinya dapat membatalkan perda yang disusun tanpa memperhatikan asas keterbukaan. Kita berharap, setidaknya dalam jangka pendek, upaya ”memeras” rakyat melalui perda dapat dihindari. * Dosen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Andalas, Padang
No comments:
Post a Comment