Wednesday, May 30, 2007

Antara Ketakutan dan Kearifan

Menarik untuk diperhatikan bagaimana media memaknai pernyataan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) ketika memberikan sambutan di hadapan ribuan jamaah pengajian Majelis Ta’lim Al- Habib Al-Habsyi, Islamic Center Indonesia, Kwitang, Jakarta, yang juga diliput berbagai media.

Ada pihak yang memaknainya sebagai pernyataan apologetik yang sarat nuansa politis. Pihak lainnya menilai, pernyataan itu sebagai ungkapan jujur dari seorang umara kepada ulama dalam menanggapi berbagai tudingan yang selama ini dialamatkan kepada dirinya. Kalangan ulama, khususnya yang hadir di dalam majelis itu menilai bahwa langkah Presiden yang terkesan lamban dan hati-hati, bukanlah tindakan penakut atau peragu, melainkan model kearifan seorang ”Bapak” terhadap anak-anaknya. Konteks pernyataan Presiden sebetulnya terkait dengan taushiyah dari Ustadz Maulana Kamal yang disampaikan sebelumnya yang menyatakan ada tiga macam orangtua.

Pertama orangtua biologis, yakni bapak dan ibu kita, kedua orangtua intelektual,yakni para guru, dan ketiga orangtua yang berfungsi pemimpin bangsa, dalam hal ini Presiden SBY mempunyai ratusan juta ”anak” dengan berbagai watak dan karakternya masing-masing. Dalam konteks inilah Presiden menyatakan bahwa memenej anak-anak bangsa yang sedemikian kompleks itu tidak lebih sederhana dibandingkan memenej anakanak biologis atau anak-anak intelektual kita. Sikap kearifan dan nuansa ketakutan atau keraguan terkadang memang sulit dibedakan pada diri seseorang, apalagi kalau orang itu figur politik.

Kalangan ulama,khususnya yang hadir pada hari itu, kelihatannya yakin betul bahwa SBY bukanlah figur antagonistik yang bisa memiliki dua wajah dalam waktu bersamaan.Sambutan tanpa teks itu seolah mengalir dari sanubari yang dalam dan tidak heran kalau juga mendarat di lubuk hati yang mendalam. Dalam bahasa sufistiknya ”ma kharaja minal qalb waqa’ah fil qalb” (sesuatu yang keluar dari jiwa yang mendalam akan diterima di dalam hati secara mendalam). Orang lain boleh saja menilai macammacam, tetapi penampilan Presiden di pagi hari itu betul-betul memukau para hadirin. Bahasa orang arif dan bahasa orang takut tidak terlalu susah untuk dibedakan.

Antara Khasyy dan Khauf

Dalam bahasa Alquran, seseorang takut kepada Tuhan (Khaliq) diistilahkan dengan khasyy, seperti firman Allah ”Inna ma yakhsya Allah min ‘ibadih al- ‘ulama’” (sesungguhnya yang paling takut terhadap Allah dari hambanya ialah para ulama). Sedangkan takut kepada makhluk Tuhan diistilahkan dengan khauf, seperti takut kepada halilintar, binatang buas, hantu, dan rekayasarekayasa jahat manusia. Pernyataan Presiden yang menyebutkan

”Saya tidak pernah takut mengambil keputusan. Saya hanya takut jika keputusan yang diambil melanggar larangan Tuhan, melanggar konstitusi, undang-undang, dan peraturan yang telah disepakati karena saya tahu dampaknya sangat jauh, bukan hanya menyangkut diri saya pribadi, tetapi menyangkut ratusan juta jiwa bangsa Indonesia”, dinilai kalangan ulama mengindikasikan ketakutan kepada Al-Khaliq, yakni takut terhadap Tuhan karena mengingat besarnya risiko yang harus ditanggung jika sebuah kebijakan itu keliru.

Bukan hanya berisiko pada diri sendiri,tetapi pada umat,warga bangsa, di dunia sampai di akhirat. Seorang yang takut kepada Allah (khasyy) bisa menampilkan keberanian untuk menghadapi siapa pun yang tidak sejalan dengan kaidah dan norma amanah yang diemban.Sehubungan dengan ini,menarik dikaji pernyataan Presiden pada hari itu bahwa tidak akan pernah takut menegakkan kebenaran, termasuk menghukum mereka yang terbukti bersalah.

Sebaliknya seorang yang takut kepada makhluk Allah (khauf) berani melanggar ketentuan Allah demi menyenangkan makhluk Allah. Dalam perspektif keagamaan, seorang pemimpin memang sebaiknya lebih mengedepankan rasa takut kepada Tuhan ketimbang rasa takut kepada makhluk Tuhan. Jangan dibalik, rasa takut kepada makhluk mengalahkan rasa takut kepada Tuhan.

Ketakutan, Keraguan, dan Kearifan

Ketakutan dan keraguan lebih berkonotasi negatif karena berpotensi melahirkan sikap ketidakpastian, kebimbangan dan keraguan.Seolah-olah tidak punya arah dan visi yang jelas dan tegas. Sikap seperti ini membuat orang lain penasaran dan tentu saja dampaknya tidak menguntungkan semua pihak, bukan saja masyarakat dan pemerintah, tetapi juga diri yang bersangkutan.

Sedangkan kearifan lebih berkonotasi positif karena demi kemaslahatan umum, maka sebuah kebijakan betulbetul dipertimbangkan secara matang. ”Keputusan dan kebijakan pemerintah harus rasional dan tidak boleh emosional, tidak boleh grusa-grusu”. ”Saya tidak mau mengulang kesalahan fasis yang mengidentikkan dirinya dengan negara (L’etat C’est Moi),saya harus menjadi bagian dari negara yang tunduk pada konstitusi dan UU”. Kutipan Presiden ini jelas menunjukkan kearifan dan kenegarawanan yang patut dihargai. Kearifan itu sendiri berasal dari bahasa Arab, dari akar kata árafaya’rifu, berarti memahami secara mendalam.

Seakar kata dengan ma’rifah berarti pengetahuan yang diperoleh melalui olah batin. Berbeda dengan ilmu (’ilm) pengetahuan yang diperoleh melalui olah nalar dan terkadang spekulasi. Pemimpin yang bijak memang seharusnya mengombinasikan antara ilmu dan ma’rifah. Presiden mengutip idealisasi sebuah umat dengan mengutip ayat Alquran, yaitu umat yang tangguh dan amanah (al-qawiyy al-amin). Presiden memaparkan gagasannya jauh ke depan, jauh melampaui periode kehidupan anak manusia karena beliau menggagas umat seperti apa yang dibutuhkan dalam era milenium ketiga ini. Jadi jelas sekali perbedaan antara sikap arif dan sikap penakut atau peragu.Jika kita belum bisa menjadi orang arif, respeklah kepada orang arif. (*)

NASARUDDIN UMAR Rektor Perguruan Tinggi Ilmu Alquran (PTIQ), Jakarta

No comments: