Tuesday, May 29, 2007

Menyikapi Penggalian Situs Batutulis


Oleh REIZA D DIENAPUTRA

TANPA diduga, berita yang semula terkesan biasa-biasa saja, dalam waktu relatif singkat segera berubah menjadi demikian menghebohkan. Bermula dari adanya informasi penggalian di Situs Prasasti Batutulis, yang terletak di Kelurahan Batutulis, Kecamatan Bogor Selatan, berita berkembang menjadi menarik ketika diketahui bahwa penggalian tersebut dikomandani langsung oleh Menteri Agama Said Agil Husin Al Munawar. Adapun tujuannya, dan ini yang membuat informasi dari Jalan Batutulis menjadi semakin menarik adalah untuk mencari harta karun. Konon kabarnya (bukan kata Mbah Dukun), harta karun tersebut bila berhasil ditemukan akan mampu menutup seluruh utang negara. Dengan demikian nilai harta karun tersebut setidaknya berjumlah 36,4 miliar dollar AS. Itupun bila angka yang digunakan adalah jumlah total utang luar negeri Indonesia yang jatuh tempo pada tahun 2002.

Disadari atau tidak, upaya penggalian situs-situs purbakala untuk tujuan mencari harta karun sebenarnya bukanlah merupakan fenomena baru. Termasuk bagi bangsa yang tengah dilanda krisis multidimensional ini. Namun, upaya pencarian harta karun di seputar Situs Prasasti Batutulis ini menjadi istimewa karena 'petunjuk' ke arah penggaliannya tidak didasarkan atas bukti-bukti ilmiah yang bisa dipertanggungjawabkan tetapi hanya didasarkan atas informasi 'orang pintar'. Di balik itu semua, yang justru tidak kalah menarik untuk diamati adalah penyikapan yang diberikan oleh berbagai elemen masyarakat, khususnya masyarakat yang berasal dan atau tinggal di Jawa Barat.

Prasasti Batutulis

Berbicara tentang Prasasti Batutulis berarti berbicara tentang sebuah kerajaan Hindu Budha yang pernah manggung di tatar Sunda, sekaligus kerajaan Hindu Budah yang paling lama eksis di Indonesia, yakni Kerajaan Sunda Pajajaran. Prasasti Batutulis sendiri sebenarnya hanyalah salah satu dari sekian banyak prasasti yang ditinggalkan kerajaan Sunda Pajajaran selama 909 tahun eksistensinya (670 M-1579 M). Adapun jumlah keseluruhan prasasti yang berasal dari Kerajaan Sunda Pajajaran adalah 25 prasasti; 19 prasasti terbuat dari batu dan sisanya terbuat dari tembaga.

Di samping Prasasti Batutulis, prasasati-prasasti lainnya yang merupakan peninggalan Kerajaan Sunda Pajajaran di antaranya adalah Prasasti Rakryan Juru Pangambat, Prasasti Sanghyang Tapak, dan Prasasti Kabantenan. Prasasti Rakryan Juru Pangambat, yang berangka tahun 654 Saka (932 M) dapat dikatakan merupakan prasasti tertua yang menyebut nama Sunda. Prasasti yang ditemukan di Desa Kebon Kopi, Bogor ini, antara lain menyebut keterangan, ...ini sabdakalanda rakryang juru pangambat i kawihaji panyca pasagi marcandeca barpulihkan haji sunda, yang artinya, (... ini tanda ucapan rakryan juru pangambat dalam tahun saka 854 bahwa pemerintahan daerah dipulihkan kepada raja sunda). Prasasti Sanghyang Tapak yang berasal dari tahun 952 Saka atau 1030 M ditulis dalam bahasa Jawa Kuno dan huruf Kawi. Prasasti ini isinya antara lain menyebutkan bahwa pada tahun 1030, Maharaja Sri Jayabhupati ... magaway tepek i purwwa sanghyang tapak ... (membuat tepek atau daerah larangan di sebelah Timur Sanghyang Tapak ...). Daerah larangan itu berupa sebagian dari sungai yang dinyatakan tertutup untuk segala macam penangkapan ikan dan penghuni sungai lainnya. Bila melanggar larangan tersebut akan termakan sumpah yang berlaku sepanjang masa, seperti, terbelah kepalanya, terminum darahnya, terpotong-potong ususnya, terhisap otaknya, dan terbelah dadanya. Prasasti Kabantenan termasuk jenis tamra prasasti, yaitu prasasti yang ditulis pada lempengan tembaga. Dalam Prasasti Kabantenan yang berjumlah lima buah tersebut pada intinya memuat pesan yang sama, yakni mengenai penetapan wilayah-wilayah tertentu menjadi daerah yang dibebaskan dari pajak atas dasar kesucian atau kepentingan keagamaan.

Prasasti Batutulis yang berangka tahun 1455 Saka (1533 M) ditulis dalam bahasa dan huruf Sunda Kuno. Dibanding prasasti-prasasti lainnya, prasasti ini dapat dikatakan merupakan prasasti yang paling banyak menyebut nama raja Kerajaan Sunda Pajajaran. Setidaknya ada tiga nama raja yang tertulis dalam prasasti ini, yaitu, Prabu Guru Dewataprana alias Sri Baduga Maharaja atau Sri Ratu Dewata, Rahiyang Dewa Niskala, dan Rahiyang Niskala Wastu Kancana. Ketiga nama raja ini, memiliki hubungan sebagai anak, ayah, dan kakek. Adapun terjemahan isi prasasti tersebut, sebagaimana dikemukakan Saleh Danasasmita, adalah sebagai berikut. 'Semoga selamat. Ini tanda peringatan untuk (peninggalan dari) Prabu Ratu Suwargi. Ia dinobatkan dengan gelar Prabu Guru Dewataprana. Dinobatkan (lagi) ia dengan gelar Sri Baduga Maharaja Ratu Aji di Pakuan Pajajaran Sri Sang Ratu Dewata. Dialah yang membuat parit (di) Pakuan. Dia anak Rahiyang Dewa Niskala yang mendiang di Guna Tiga; cucu Rahiyang Niskala Wastu Kancana yang mendiang di Nusa Larang. Dialah yang membuat tanda peringatan (berupa) gunung-gunungan, membangun jalan yang diperkras dengan batu, membuat samida, membuat Sanghiyang Talaga Rena Mahawijaya. Ya dialah (yang membuat segala itu), (dibuat) dalam (tahun) saka 1455 (sic.)'. Melihat tahun pembuatannya, yakni 1455 Saka atau 1533 M, maka dapat dipastikan bahwa pembangunan Prasasati Batutulis ini dilakukan pada masa pemerintahan Sang Prabu Surawisesa (Ratu Sangiang). Prabu Surawisesa yang merupakan anak kandung Sri Baduga Maharaja memerintah dari tahun 1521 M hingga 1535 M.

Melihat isi yang terkandung dalam Prasasti Batutulis secara eksplisit terlihat bahwa pembuatan prasasti tersebut hanyalah sebagai sebuah monumen peringatan atas jasa besar yang telah dilakukan Sri Baduga Maharaja. Dengan demikian, Prasasti Batutulis tersebut sama sekali tidak memuat suatu 'pesan' yang dapat dijadikan alasan untuk menjadikan prasasti atau tempat dimana prasasti tersebut berada dikeramatkan atau disakralkan. Hal tersebut jelas berbeda dengan Prasasti Sanghyang Tapak. Melihat isi yang terkandung di dalamnya, Prasasti Sanghyang Tapak memuat pesan yang jelas tentang adanya daerah larangan dan sanksi bagi yang melanggarnya.

Bentuk Penyikapan

Dilihat dari panjangnya rentang waktu pejalanan sejarah Kerajaan Sunda Pajajaran, Prasasti Batutulis, sebagaimana prasasti-prasasti Kerajaan Sunda Pajajaran lainnya yang telah berhasil ditemukan, hanya memberi sedikit informasi tentang Kerajaan Sunda Pajajaran. Dalam kondisi seperti itu, maka setiap upaya penelitian, termasuk di dalamnya penggalian situs, yang ditujukan untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang belum terungkap seputar Kerajaan Sunda Pajajaran pada dasarnya perlu disikapi secara positif.

Penyikapan yang sama sebenarnya patut diberikan pada penggalian situs yang terjadi pada tanggal 14 Agustus 2002. Penyikapan yang berupa dukungan ini tentunya, sekali lagi, perlu diberikan apabila penggalian situs tersebut ditujukan untuk meneliti lebih lanjut berbagai misteri yang menyelimuti Situs Prasasti Batutulis. Namun, bentuk penyikapan tersebut bisa menjadi lain tampilannya manakala tujuan penggalian tersebut adalah bukan untuk tujuan penelitian atau pengungkapan sejarah Kerajaan Sunda Pajajaran.

Penjelasan gamblang menteri agama bahwa penggalian situs Prasasti Batutulis adalah untuk tujuan mencari harta karun, benar-benar telah membuat banyak orang terperangah. Tidak sedikit di antaranya yang sulit untuk mempercayai bahwa ucapan tersebut muncul dari pejabat publik setingkat menteri. Terlebih manakala dikatakan bahwa petunjuk untuk melakukan penggalian di sekitar situs tersebut diperoleh atas informasi dari seorang ustaz yang diyakini sang menteri sebagai orang pintar. Untuk memberi legitimasi lebih kuat atas prakarsa penggaliannya tersebut, meskipun kemudian dibantahnya sendiri dalam jumpa pers tanggal 21 Agustus 2002, menteri agama juga mengatakan bahwa ia telah memperoleh izin presiden. Akibatnya, hebohlah berita penggalian tersebut. Berbagai reaksi pun segera muncul.

Namun demikian, sangat disayangkan komentar-komentar yang muncul di seputar penggalian tersebut sebagian di antaranya cenderung emosional dan tidak proporsional. Bahkan, yang lebih ironis lagi, perilaku irasional yang dituduhkan terhadap menteri agama justru ditanggapi dengan cara-cara yang (sebenarnya) irasional pula. Termasuk penyikapan yang kemudian memandang situs tersebut sebagai tempat keramat dan sakral sehingga tidak boleh diusik sedikit pun juga. Bahkan adapula yang kemudian menghubungkan akibat penggalian tersebut dengan berbagai kejadian yang menimpa kota Bogor pasca terjadinya penggalian.

Sebenarnya, apabila mau berpikir jernih dan lebih hati-hati, dampak positif pasca terjadinya penggalian akan lebih banyak muncul. Sebelum penyikapan diberikan, tentunya perlu dipertanyakan dulu, apa tujuan sebenarnya penggalian tersebut? Benarkah memang tujuannya hanya untuk mencari harta karun? Kalau memang untuk mencari harta karun, jenis harta karun apa yang sebenarnya tengah dicari menteri agama? Tidakkah ada kemungkinan bahwa dibalik semua itu sebenarnya ada skenario penting yang tengah digulirkan menteri agama?

Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut, tentu banyak kemungkinan jawaban yang dapat dikedepankan. Namun demikian, bila kasus tersebut dilihat dari perspektif lain bisa jadi di balik perilaku irasional yang jelas-jelas ditampilkan menteri agama ada satu misi besar yang sebenarnya ingin dilakukan menteri agama, yakni ingin mengikis perilaku irasional yang kini demikian mewabah pada bangsa ini. Bukan rahasia umum lagi bahwa di tengah krisis multidimensional ini banyak pihak yang kemudian memanfaatkannya untuk menjual program-program pencarian harta karun, baik itu harta karun para mantan raja, mantan presiden, sampai mantan pemberontak sekalipun. Program-program pencarian harta karun yang sudah demikian mewabah ini anehnya termasuk komoditi yang laku dijual sehingga mendapat sambutan penuh antusias dari sebagian masyarakat, bahkan dukungan terkadang muncul dari mereka-mereka yang berasal dari kalangan terdidik. Untuk meyakinkan para 'korbannya', tidak hanya tempat-tempat tertentu yang ada di darat yang diindikasikan menyimpan harta karun tersebut, termasuk sejumlah bank, khususnya bank di luar negeri, tetapi juga tempat-tempat di sekitar perairan Indonesia. Para bobotoh harta karun ini biasanya baru akan tersadarkan bahwa program tersebut hanya bualan belaka apabila waktu yang dijanjikan untuk menerima pembagian harta karun telah lewat sementara mereka belum memperoleh bagian atau para seller program menghilang entah kemana rimbanya.

Dalam kaitan itulah tampaknya menteri agama ingin membuka mata semua pihak melalui penggalian yang dilakukan di Situs Prasasti Batutulis, meskipun untuk itu ia harus menuai badai kritik dan cercaan. Mengapa Situs Prasasti Batutulis yang menjadi objek perburuan harta karun? Jawabannya tegas, karena Situs Prasasti Batutulis termasuk salah satu lokasi yang sering disebutkan banyak menyimpan harta karun, termasuk oleh para seller program perburuan harta karun. Tujuan akhirnya jelas, dengan memilih sampel di lokasi yang banyak diisukan, menteri agama tampaknya ingin memperlihatkan kepada masyarakat bahwa program-program pencarian harta karun tersebut hanyalah bualan belaka. Dengan cara ini, masyarakat yang selama ini telah termakan oleh mimpi-mimpi tentang adanya sejumlah harta karun di sekitar Situs Prasasti Batutulis dapat secepatnya tersadarkan karena bukti yang ditampilkan adalah bukti konkrit.

Kalau tujuannya memang seperti itu maka jelas kesalahan terbesar menteri agama adalah ia kurang cerdik dalam memainkan skenario tersebut. Sebagai orang terdidik, ulama, sekaligus pejabat negara, menteri agama seharusnya memperhatikan berbagai prosedur yang dipersyaratkan untuk melakukan penggalian. Prosedur perizinan dan pengunaan metode ilmiah dalam penggalian seyogianya ditempuh menteri agama. Bahkan pemetaan lokasi dengan geo electric prospecting sebelum penggalian dimulai sudah seharusnya dilakukan terlebih dahulu.

Selanjutnya, bila ide pencerahan ini memang menjadi tujuan sebenarnya menteri agama, betapapun pada akhirnya kita perlu menyikapinya secara positif. Penggalian perlu diteruskan tetapi dengan memperhatikan kaidah-kaidah ilmiah yang dapat dipertanggungjawabkan. Bisa jadi dibalik ide pencerahan tersebut, justru pada akhirnya akan muncul blessing in disguise. Harta karun benar-benar akan ditemukan di Situs Prasasti Batutulis. Namun, harta karun tersebut bukan barang yang bernilai jual tinggi sebagaimana yang selama ini diisukan, tetapi justru harta karun yang memiliki nilai sejarah dan budaya tinggi, yakni bukti-bukti yang lebih lengkap tentang eksistensi Kerajaan Sunda Pajajaran.

Berdasarkan perspektif pemikiran tersebut jelaslah penyikapan yang bersifat emosional dan irasional jelas perlu dihindari dalam 'membaca' kasus Batutulis ini. Terkadang apa yang tersurat tidak selalu sama dengan apa yang tersirat. Penghormatan terhadap peninggalan leluhur memang perlu dilakukan namun penghormatan tersebut tetap harus dilakukan secara proporsional. Penyikapan secara berlebihan, termasuk menjadikannya sebagai benda atau tempat keramat dan sakral pada dasarnya hanya akan semakin memperkokoh perilaku irasional yang kini menghantui bangsa ini. Lebih dari itu, akan lebih indah kiranya bila penyikapan (baca, penghormatan) terhadap peninggalan leluhur tersebut tidak sekedar ditampilkan hanya pada saat kasus model Batutulis ini terjadi tetapi justru ditampilkan dalam perilaku sehari-hari sebagaimana di antaranya diajarkan dalam naskah Sewaka Darma (1021 Saka/1099 M), tentang larangan dan perintah; melarang orang untuk salah langkah, salah ambil, salah dengar, dan salah cium, serta memerintahkan orang untuk memiliki keberanian, kepribadian, kewaspadaan, dan kegembiraan (rasa optimis). Sementara dalam naskah Sanghyang Siksakanda ng Karesian (1440 Saka/1518 M) di antaranya diajarkan pula tentang sepuluh kebaktian, .... nihan sinangguh dasa prebakti ngaranya: anak bakti di bapa, ewe bakti di laki, hulun bakti di pacandaan, sisya bakti di guru, wong tani bakti di wado, wado bakti di mantri, mantri bakti di nunangganan, nunangganan bakti di mangkubumi, mangkubumi bakti di ratu, ratu bakti di dewata, dewata bakti di hyang ... (... inilah peringatan yang disebut sepuluh kebaktian: anak bakti kepada bapa, istri bakti kepada suami, rakyat bakti kepada pacandaan (=tempat bersandar), murid bakti kepada guru, petani bakti kepada wado (=pegawai rendahan), mantri bakti kepada nu nangganan, nu nangganan bakti kepada mangkubumi, mangkubumi bakti kepada raja, raja bakti kepada dewata, dewata bakti kepada hyang ...).***

Penulis adalah Ketua Jurusan Sejarah Fakultas Sastra Universitas Padjadjaran.

No comments: